ETIKA DALAM ISLAM
Etika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan tantang manusia. Etika atau Ethics berasal dari kata-kata Yunani : Ethos artinya kebiasaan. Ia membicarakan tentang kebiasaan (perbuatan), tetapi bukan menurut arti tata-adat melainkan tata-adab, yaitu berdasar pada inti sari atau sifat dasar manusia : baik – buruk. Jadi dengan demikian etika adalah teori tentang perbuatan manusia ditimbang menurut baik-buruknya.
Setiap tingkah laku manusia, setidak-tidaknya salah satu fasetnya bernilai “etis”. Tenaga pendorongnya berasal dari diri manusia itu sendiri, yaitu suara hati sebagai penjelmaan Nur Ilahi yang ditangkap oleh Ruh. Suara hati ini merupakan pengejawantahan dari pengertian-pengertian a priori atau pengertian-pengertian auwali (nilai) yang terkandung dalam Qalbu.
Pengertian a prioritas (nilai) tersebut, disebut pula Reinent Vernunnft, adalah lepas dari pengalaman yang sebelumnya sudah ada dan tinggal menyadarkannya, tetapi menjadi dasar daripada segala pengalaman. Agar pengertian sedemikian bisa menjadi jelas dan konkrit, sangatlah diperlukan adanya pengalaman yang dilaksanakan berdasarkan a priori ini (nilai-nilai dasar). Apa yang kita miliki kemudian dalam pemikiran kita setelah mengamati pengalaman tadi dilaksanakan, hal ini disebut sebagai a posteriori. Pengalaman nilai dasar sedemikian (a posteriori) amatlah besar peranannya dalam pendidikan anak-anak. Melalui dia, alam pikiran anak menjadi meluas. Dan hanya dialah satu-satunya jalan untuk membuat anak paham akan sesuatu, berhubung masih sempitnya daerah kekuasaan akal anak pada waktu itu, sehingga pengertian-pengertian a priorinya praktis belum dapat mendorong dia untuk berbuat sesuai dg nilai-nilainya.
Dorongan suara hati merupakan perintah yang harus dituruti. “Keharusan” bertingkat-tingkat otoritasnya sejalan dengan norma apa yang dianut oleh yang bersangkutan dalam mendasarkan perbuatannya. Islam melihat adanya kemungkinan lolosnya penyelewenangan dari sanksi pada kata-kata “harus”. Olehnya perintah tersebut kemudian ditingkatkan menjadi “wajib”. Dengan begitu perbuatan etis dalam pandangannya menjadi suatu kemutlakan yang tidak dapat ditolak.
Bertolak pada kepastian hukum moral ini, maka segala perkara yang mengikut di belakangnya menjadi pasti pula hukumnya. Mendidik anak menjadi wajib, terlepas dari perhitungan adakah anak itu nanti akan menjadi baik ataupun sebaliknya jahat setelah menginjak alam kedewasaan.
Penilaian baik-buruk di dalam ajaran Islam tidak hanya ditentukan oleh kenyataan lahiriah suatu perbuatan. Islam jauh lebih hati-hati dalam hal ini. Olehnya dikemukakan adanya syarat-syarat lebih banyak untuk dapatnya suatu perbuatan disebut baik. Di samping segi lahiriyahnya, juga syarat-syarat : pelaku-penderita-tujuan-alat, harus pula dipenuhi. Suatu perbuatan yang sudah melengkapi persyaratan-persyaratan di atas disebut amal sholeh.
Amal sholeh sebagai pengmalan “ikhsan” belum menjamin terbukanya surga bagi pelakunya. Selain Ikhsan, pengamalan Iman dan Islam adalah wajib pula. Sebab ketiganya merupakan kesatuan bulat yang mengikat dan hanya dengan mengamalkan ketiga-tiganyalah seseorang baru benar-benar disebut seorang muslim.
Beramal sholeh adalah suatu tindakan yang bermata dua :
a. bertujuan ke arah pensucian diri pribadi.
b. menuju ke arah kemarifatan terhadap Allah s.w.t.
Jadi kejadiannya ialah menyelam mencari dasar dengan usaha mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan kata lain bergerak secara divergensif (berbeda arah). Kalau disejajarkan dengan gerak pemikiran filosofis, akan kita lihat suatu macam proses yang sama. Hanya saja perbedaannya terletak pada “apa” yang berproses dan “apa” yang menjadi obyeknya. Filsafat adalah suatu proses berpikir secara menyeluruh dalam usaha mencari inti kebenaran suatu masalah, dengan menyelami dasar dari segala dasarnya (radikal) dan memikirkan konsekuensi terakhir daripadanya secara tertib teratur (sistematis).
Dengan demikian beramal sholeh atau lebih tepatnya disebut Tasawuf adalah sama prosesnya dengan Filsafat. Di dalam Tasawuf digunakan istilah “mensucikan diri”, sedang dalam Filsafat digunakan istilah “menyelami dasar”. Selanjutnya dalam Tasawuf dipakai perkataan “mendekatkan diri kepada Allah”, sedang dalam Filsafat dipakai perkataan “memikirkan konsekuensi terakhir”. Jelasnya baik Tasawuf maupun Filsafat bergerak secara intern dan ekstern.
Sehubungan dengan perbedaan antara Filsafat dan Tasawuf, maka:
1. “Apa” yang berproses, di dalam Filsafat ialah pemikiran, sedangkan dalam Tasawuf ialah pengamalan. Artinya Filsafat bersifat teoritis, Tasawuf bersifat praktis.
2. “Apa” yang menjadi obyeknya, di dalam Filsafat ialah “hakikat” dari sarwa sekalian, inti kebenaran daripadanya atau metafisika dari semesta dunia. Sedangkan di dalam Tasawuf obyeknya ialah “ma’rifat” kepada Allah, atau sesuatu yang berada di luar metafisika. Jadi jauh lebih tinggi dari Filsafat.
3. “Hasil” dari keduanya itu pun berbeda. Filsafat menghasilkan “dugaan/hypothesa” belaka, sebab secara murni akal tak akan terjangkau oleh pemikiran dan perasaan manusia. Tasawuf dengan berpedoman pada petunjuk-petunjuk Tuhan, tidak hanya hakikat sarwa tapi juga ma’rifat kepada Tuhan dapat dicapai kendati pun sangat sukar sekali.
Tujuan pendidikan anak-anak sudah jelas yaitu mendewasakan anak dalam artian dapat berdiri sendiri, berkemauan sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas segala perbuatannya. Dalam masa bimbingan ini kepada si terdidik diberikan nilai-nilai normatif dengan harapan agar si anak di kemudian hari menjadi pendukung dan pelaksanaan nilai-nilai tersebut. Nilai tertinggi ialah nilai ke_Tuhanan : Syariat Islam. Tuntunan yang sedemikian ini berpandang jauh kemuka secara teleologis yakni menciptakan seorang yang sholeh.
Mengingat bahwa tiada manusia yang tidak pernah bersalah, maka perlu sekali ia sadar akan hal ini. Rasa berdosa yang menimbulkan rasa sesal, meningkat menjadi taubat adalah syarat mutlak dalam merintis jalan ke arah pembentukan pribadi yang sholeh.
Suatu hal yang tak boleh dilupakan ialah bahwa di dalam perjalanan menuju cita-cita kesucian jiwa akan dihadapi berbagai macam rintangan : manusia-dunia-setan-nafsu. Kedua penghalang terakhir ini : setan- nafsu adalah musuh-musuh yang paling berbahaya, sebab tidak nampak oleh mata kita. Mereka sebagai musuh dalam selimut.
Dengan bertumpu pada taubat sebagai “kapital”, dan ajaran Islam sebgai “sipat kandelnya” pasti tidak akan terlalu sulit untuk menyingkirkan musuh di depan dalam bergerak menuju cita mendekatkan diri kepada Allah.
Guna melicinkan jalan ke arah cita-cita, pengamalan sedemikian itu perlu didampingi-mujahadah dan riyadhah yang pada taraf tertinggi berubah dalam bentuk yang lebih halus yaitu Tafakkur dan Dzikir.
Langkah terakhir pabila berhasil, Tafakur dan dzkir akan mengakibatkan tersingkapnya “ghisyawah” yang selama ini menghalangi penglihatannya kerena tipuan nafsu (Q.S Al-Jastiyah:23)
ƒuät�sùr& Ç`tB x‹sƒªB$# ¼çmyg»s9Î) çmuqyd ã&©#|Êr&ur ª!$# 4’n?tã 5Où=Ïæ tLsêyzur 4’n?tã ¾ÏmÏèøÿxœ ¾ÏmÎ7ù=s%ur Ÿ@yèy_ur 4’n?tã ¾ÍnÎŽ|Çt/ Zouq»t±Ïî `yJsù ÏmƒÏ‰öku‰ .`ÏB ω÷èt/ «!$# 4 Ÿxsùr& tbrã�©.x‹s? ÇËÌÈ
No comments:
Post a Comment
Berkomentar lah dengan bijak.